Postingan

Menampilkan postingan dari Juli 30, 2023

EMPAT NAMA NASAB BA ALAWI TERINDIKASI FIKTIF

Gambar
Dalam tulisan lalu penulis katakan “Bahkan dari manuskrip Habib Rumail, penulis sekilas dapat tambahan dukungan keterputusan nasab  Ba Alawi semakin panjang menjadi 651 tahun”, mengapa demikian? Perhatikan di menit ke-4.05 dari video Habib Rumail Assegaf (HRA)! Di sana ia menampilakan manuskrip kitab Al-Suluk karya Al-Janadi (732 H). ternyata, nasab Bani Jadid dalam kitab Al-Suluk yang ada dalam versi cetak dan versi Al-maktabah Al-Syamilah berbeda dari versi manuskrip tersebut. Dalam versi cetak kitab Al-Suluk dari Maktabah Al-Irsyad di Kota Shan’a  tahun 1416 H yang di  tahqiq oleh Al-Akwa’ Al-Hiwali, nasab Bani Jadid adalah seperti ini: 1. Abul Hasan Ali (Ali kedua) bin  2. Muhammad(Muhammad kedua) bin   3. Ahmad (Ahmad kedua) bin  4. Hadid (Hadid Kedua) bin 5. Ali (Ali pertama) bin 6. Muhammad (Muhammad pertama) bin 7. Hadid (Hadid pertama) bin  8. Abdullah bin 9. Ahmad bin Isa.   Dari Abul Hasan Ali sampai nama Ahmad terdiri dari sembilan nama. Dalam manuskrip

NASAB BA ALAWI TIDAK MASUK AKAL

Gambar
   Ba Alawi, adalah sebuah klan yang konon merupakan keturunan Alawi bin Ubaidillah. Namun, menurut penulis, mereka menamakan diri mereka sebagai Ba Alawi tersebut hanya karena adanya term Ba Alawi yang terdapat dalam kitab Al-Suluk karya Al-Janadi (w. 730 H), yaitu ketika menerangkan tentang seorang ahli hadits yang bernama Ali Abul hasan dari keluarga Ba Alawi yang tinggal di Hadramaut. Habib Ali Al-Sakran (w. 895 H), kemudian mengklaim keluarga dan leluhurnya sebagai bagian dari keluarga Ba Alawi tersebut. Hakikatnya, Ali Al-Sakran tidak mempunyai dalil yang mendukung klaimnya tersebut. Ia tidak mempunyai sumber, baik primer maupun sekunder, yang menyatakan bahwa Alwi adalah saudara seayah dari Jadid. Begitupula dengan Basri yang diklaim sebagai saudara lain dari Alwi. Tidak ada dalil apapun.  Bahkan, pondasi nasab Ba Alawi, baik Bani Bashri, Bani Jadid maupun Bani Alawi sangat rapuh. Sehingga kontruksi nasab keluarga ini, hari ini kita saksikan bagaikan bangunan yang menjulang ting

BA ALAWI GANTI KAKEK? KONSEKWENSINYA KOMPLEKS

Gambar
Kiai Hannan merilis sebuah manuskrip walisongo yang didalamnya terdapat silsilah keluarga Al Haddad Ba Alawi. Dalam manuskrip tersebut, keluarga Alawi ditulis tidak bin Ubaidillah bin Ahmad, tetapi ditulis Alawi bin Isa Arrumi bin Muhammad Al Azraq bin Isa bin Muhammad Annaqib bin Ali Al Uraidi. Penemuan Kiai Hanan ini,  memperkuat tesis penulis bahwa nasab Ba Alawi ini memang adalah nasab problematik. problematika nasab ini terjadi dari berbagai sudut: historis, geografis-antroplogis dan susunan amudunasab (nama-nama dalam silsilah nasab). Bahkan, dalam penyusunan biografi tokoh-tokoh amudunnasab itu,  terindikasi adanya dugaan "lied on purpose" dengan beberapa kasus tulisan yang berupa kitab atau artikel pendek tentang biografi mereka yang tanpa referensi.  Sebagai contoh lihat kitab-kitab  yang mengulas tokoh Ahmad bin Isa dan  Ubaidillah, apakah penulisnya, ketika menuliskan  peristiwa-peristiwa sejarah dalam bukunya itu, berupa tahun kejadian, lokasi perpindahan, si fula

NASAB BA ALAWI ANTARA MARDUD DAN MUKHTALAF FIH

Gambar
Dalam Bahtsul masa’il (BM) nasab di Benda Kerep, Ahad 30 Juli 2023, di simpulkan bahwa,  nasab Ba Alawi berkedudukan sebagai nasab “mukhtalaf fih” (diperselisihkan). Penulis, yang juga hadir dalam acara itu sebagai peserta, secara pribadi,  tidak sepakat dengan kesimpulan itu. berdasarkan data-data kuat yang penulis temukan,  nasab Ba Alawi, lebih tepat dikatakan nasab yang “tertolak” (mardud). Tetapi, penulis menghormati kesimpulan yang disepkati. Mukhtalaf fih, artinya nasab yang tidak disepakati ulama. Dalam bab ijtihad, dua dalil bisa disebut “ta’arud”  (bertentangan), jika keduanya sama-sama kuat.  Jika salah satu dari dua dalil ini lebih kuat, maka seorang mujtahid harus menggunakan dalil yang lebih kuat ini, dan mengabaikan dalil yang lemah.  Jika ada dua nash nampak  bertentangan, yang satu  nash yang qot’I (pasti), dan yang lainnya adalah  nash yang dzonni (dugaan, tidak qot’i), maka hal tersebut tidak bisa disebut “ta’arud” dan tidak bisa bermuara kepada “mukhltalaf fih” (dip