STANDAR ULAMA BANTEN


TRADISI MONDOK DI MAKKAH; STANDAR ULAMA NU DI BANTEN

Oleh KH. Imaduddin Utsman (Wakatib PWNU Banten; Pengasuh Ponpes NU Kresek, Tangerang, Banten)

Banten adalah salah satu daerah di kepulauan Nusantara yang memiliki kesinambungan tradisi keilmuan Islam tertua. Tercatat dalam sejarah sejak tahun 1634 orang Banten sudah menuntut ilmu di Makkah. Mereka adalah para bangsawan dari Kesulthanan Banten yang diutus Sultan Banten, Abul Mufakhir,  dengan diberi tugas untuk menerima gelar Sultan dari Syarif Makkah. Selain tugas tersebut kesempatan itu digunakan untuk nyantri dan berhaji. Mereka adalah Aria Wangsakara, Aria Jaya Santika dan Labe Panji. Di Makkah mereka mengaji kepada Ibnu Allan dan berhasil menyalin kitab-kitab karya Ibnu Allan untuk diajarkan di Banten. Pada masa ini pula Syekh abdul Syukur Kasunyatan mesantren di Makkah.

Tradisi nyantri di Makkah juga dilanjutkan pada zaman Sulthan Agung Tirtayasa (1651-1683) dengan mengirim rombongan yang dipimpin Santri Betot tahun 1651. Sultan Agung Tirtayasa pula mengambil menantu santri Makkah yang bernama Syekh Yusuf taaj al Khalwati. Syekh Yusuf berasal dari Makassar yang ketika ingin mesantren ke Makkah harus melalui pelabuhan Banten, di sana ia bertemu dengan Pangeran Surya dan terjalin pertemanan antara keduanya. Kelak ketika Syekh Yusuf pulang dari Makkah, Pangeran Surya ini telah menjadi Sultan Banten dengan gelar Sultan Ageng Tirtayasa. Kemudian Pada tahun 1675, putra mahkota Banten, Pangeran Abdul Qahhar juga berhaji sambil nyantri di Makkah.

Sultan Zainul Asyiqin yang memerintah Banten pada tahun 1753-1773 adalah seorang santri dari ulama asal Syuriah yang bernama Syarif Musa bin Abdullah al Hamawi. Keterangan itu didapatkan dari kitab yang berisi Tarekat Qadiriyah Al Rifa’iyyah milik Sultan yang terdapat di koleksi Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (PNRI).

Sezaman dengan Sulthan Zainul Asyiqin, tersebut pula ulama Banten di Makkah yang kepakarannya dalam mengarang kitab menyamai Syekh Nawawi Tanara. Ia adalah Syekh Abdullah bin Abdul Qohhar Al Bantani (kemungkinan besar ia putra Pangeran Abdul Qahhar, Sultan Haji). Brockelman dalam karyanya: Geschicter der Arabischen Literatur, mencatat nama Syekh Abdullah bin Abdul Qahhar al Bantani ini sebagai ulama besar pada zamannya yang memiliki banyak tulisan. Dunia karya monumnetalnya yang banyak dikenal dunia adalah: Risalat Syuruth al Hajj dan kitab Al Masail (Brockelman, 1949:422).

Syekh Abdullah bin Abdul Qahhar, selain ulama fiqih, juga adalah tokoh besar dalam Tarekat Syatariyah dari Nusantara, selain Syekh Abdurrauf Singkil dan Syekh Abdul Muhyi Pamijahan. Dalam Tarikat ia mengarang kitab: Fath al Muluk li Yashila ila Malik al Muluk ala Qoidah Ahl al Suluk. Guru-guru syekh Abdul Abdullah bin Abdul Qahhar al Bantani di Makkah di antaranya: Imam Muhammad bin Ali Al Thabari (guru yang sama dengan Syekh Abdurrauf Singkil).

Pada abad 19 dan awal abad 20  adalah abad yang paling ramai ulama-ulama Banten yang mesantren di Makkah. Tentu saja Syekh Nawawi Tanara adalah sebagai bintang dari banyaknya ulama Banten yang menuntut ilmu di Makkah. Di antara mereka selain Syekh Nawawi al Bantani, adalah Syekh Abdul Karim al Bantani, Syekh Arsyad Thawil Tanara, Syekh Arsyad Qoshir Tanara, Syekh Muhammad Ali Kresek (wafat di Madinah) Syekh Muhammad Ramli (Kresek, kakek KH. Ma’ruf Amin) Syekh Abdul Haq Tanara, Syekh Sahal (Kresek, pindah ke Lopang, guru Syekh Nawawi di Banten), Syekh Husen Carita, Syekh Yusuf mandalawangi, Syekh Makmun kaloran, Syekh Sufyan Laes, Syekh Asnawi Lengkong, Syekh Azhari lengkong, Syekh Siddiq Cengkudu, Syekh Muqri Abdul Hamid Labuan, Syekh Asnawi, KH. Wasid Bojonegara, Tubagus Ismail, Tubagus Marzuki Tanara dll.

Tradisi mesantren di Makkah kemudian surut sejalan dengan kemerdekaan Indonesia dan ketatnya faham Wahabi di Saudi Arabia. Santri-santri Banten pada waktu berikutnya mesantren kepada murid-murid Syekh Nawawi tanara baik yang ada di Banten maupun di luar Banten. Namun walau demikian sistem dan tahapan kajian para santri Banten, secara kwalitas, tidak mengalami penurunan besar dari yang diajarkan para ulama-ulama pendahulunya yang belajar di Makkah. Ketika murid Syekh Nawawi dari Tebuireng, Syekh Hasyim Asy’ari, mendirikan Nahdlatul Ulama (NU), Para ulama murid-murid Syekh Nawawi yang berada di Banten pun mayoritas mengamini dan bergabung dalam NU.

Pesantren-pesantren di Banten, begitujuga seluruh pesantren dalam tradisi NU,  mengkaji tuntas fan-fan ilmu yang dibutuhkan dalam penggalian hukum, setiap tahunnya melahirkan para mutafannin (ahli dalam disiplin ilmu tertentu) dalam berbagai disiplin ilmu yang kemudian mereka disebut mutafaqqih fi al din (seorang yang faham agama) dan dalam tahapan selanjutnya dengan kemampuan tertentu mereka mempunyai kemampuan istinbath atau ijtihad .
Seluruh syarat-syarat pengetahuan yang dibutuhkan oleh seorang mustanbith (mujtahid; penggali hukum Islam) dipelajari dengan teliti di pondok-pondok yang berbasis NU. Dalam tradisi NU, sarat seorang wa’idz (penceramah) tidak serumit sarat seorang mutafaqqih apalagi mustanbith. Seorang wa’idz cukup memiliki kemampuan metodologi mengajak (da’wah) manusia menuju jalan Allah SWT. dengan menghafal ayat-ayat al Qur’an atau hadits hadits Nabi, sementara seorang mutafaqqih dan mustanbith harus memiliki interdisiplin ilmu.

Kapabilitas dalam ilmu nahwu dan shorof adalah syarat paling dominan, sebelum sarat yang lain, dalam mengukur seseorang, apakah memenuhi sarat awal untuk mampu beristinbath atau tidak? Hal itu dapat ditengarai dengan mudah dari apakah ia mampu membaca kitab kuning (gundul; tanpa harokat) dengan baik atau tidak? Bila sarat pertama ini tidak terpenuhi maka sarat berikutnya not accepted  (tidak dapat diterima), walaupun ia mampu berargumen dengan banyaknya hafalan ayat al-Qur’an, al Hadits maupun kaidah-kaidah hukum. Karena dapat dipastikan, orang yang tidak memahami ilmu nahwu dan shorof secara detail, akan terperoksok ke dalam salahnya memahami purpose dari lafadz-lafadz bahasa Arab yang unik.

Sarat yang berikutnya adalah ia telah mengkaji berbagai kitab-kitab fiqih furu’ dalam satu madzhab tertentu. Dalam tradisi pesantren NU, kitab-kitab ini dimulai dari kitab fikih mukhtashar (ringkasan) seperti kitab Matan al Taqrib, safinah, minhaj al Tholibin dsb. Kemudian dilanjutkan dengan berbagai kitab syarah dari kitab-kitab mukhtashar, seperti kitab fath al qoriib dan  Syarah Riyadl al badii’ah karya syekh Nawawi Tanara. Dilanjutkan dengan kitab-kitab fikih fatwa tingkat menengah seperti kitab fath al muin, Bugyat al mustarsyidin, Qalyubi wa Umairah, Nihayat al zain dsb.

 Setelah itu ia perlu memperkaya bacaan dengan mengkaji kitab-kitab fikih utama seperti Tuhfat al muhtaj, Nihayat al Muhtaj, Mugni al Muhtaj, Muhadzab, al Majmu, Raudat al Thalibin dsb. Kemudian ia juga harus memahami Fiqh al Muqaranah (ilmu fikih perbandingan) dengan mengkaji kitab-kitab seperti Bidayat al Mujtahid, Mizan al Kubro, al Fiqh ala al Madzahb al ar ba’ah dsb.

Selain mengkaji kitab-kitab tersebut kemudian ia harus mengkaji dan memahami kitab-kitab ilmu ushul fiqih seperti: al Waraqat, Talkhis al hushul, jam’ al jawami’, al Ihkam, al Mustasyfa, Al talkhis Imam Juwaini dsb. Selanjutnya memperkaya pengetahuan fiqih dengan mengkaji kitab-kitab kaidah-kaidah fikih seperti: al Asybah wa al Nadza’ir, Al Jalaliyah, al Lahaji dsb. Kemudian ia juga mengkaji kitab-kitab hadis  seperti: Sohih al Bukhari, Sohih Muslim, Sunan Abu Daud, Sunan Turmudzi, Sunan Nasa’i, Sunan Ibnu Majah, Mustadrak Al Hakim, Musnad al Imam al Syafi’i, Musnad Ahmad  dsb. Dan kitab ilmu hadits  seperti Al Baiquniyyah, Al Muhimmah, Al Muqaddimah, Nuzhat al nadzar dsb.

Selain kitab hadits dan ilmu hadits, ia juga harus mengkaji interpretasi-interpretasi ulama yang terdapat dalam kitab-kitab  tafsir seperti: al jalalain, Marah Labid (tafsir Munir), Ibnu Katsir, al Qurtubi, al Baghawi, al thabari, al Alusi dsb. Dilanjutkan kitab ilmu tafsir seperti: Nadzam al Tafsir Zamzami, Al Fath al munir, al Itqon, al Burhan dsb. Penting juga mengkaji kitab yang khusus membahas tentang asbab al nuzul (sebab-sebab turunnya ayat al Qur’an) seperti: al Wahidi, al Ujaab fi bayan al Asbab, Lubab al Nuqul dsb.  Sebagaimana penting juga mengkaji kitab-kitab yang khusus membahas tentang nasikh-mansukh dalam al Qur’an seperti: al Sanqiti, al Nahhas, Al iidlaah, Ibn al Jauzi dsb.
Ia juga mesti memahami Ilmu Ma’ani dan Ilmu Bayan yang terdapat dalam kitab semisal: Matan al Jauhar al Maknun, Uqud al Juman, Al Syarh al Maimun, Nahj al Balaghah, Asrar al Balaghah,  Al Miftah, Bugyat al Iidlaah dsb.

Setelah disiplin-disiplin ilmu diatas dikuasai ia juga harus mengetahui adab seorang mufti juga dapat membedakan mana qawl ulama yang dapat difatwakan dan mana yang tidak. Untuk itu ia harus memahami ulum al ifta yang terdapat misalnya dalam kitab: fawaid al makiyyah, ushul al ifta wa adabuhu dsb.
Dengan sempurnanya disiplin ilmu-ilmu tersebut barulah ia dapat berfatwa baik fatwa manshus (yang terdapat dalam kitab-kitab fiqih) maupun fatwa mustanbath (masalah hukum yang digali dari nash al-Qur’an dan al Hadits serta ijma namun belum ada pendapat ulama tentang itu).

Demikianlah sepenggal sejarah tradisi keilmuan Islam di Banten yang begitu panjang dan bersimultan dengan awal-awal perkembangan Islam di Nusantara. Dengan tulisan ini diharapkan tradisi ilmu pengetahuan di Banten ini akan terus berkesinambungan untuk masa-masa selanjutnya. Juga standarisasi materi pengajaran yang harus tetap dijaga agar para ulama ke depan terus dapat menjawab tantangan sesuai dengan zamannya.(I-U)

Komentar