SULTAN ZAENAL ASYIKIN, SANG KHALIFAH TAREKAT QODIRIYAH
Oleh Imaduddin Utsman
Sultan di Nusantara yang menjadi pengamal tarikat mungkin ada, tapi hanya di Banten, seorang sultan, bukan hanya menjadi pengamal tarikat, tetapi juga kemudian ia mencapai derajat khalifah tarikat.
Adalah Sultan Zainal Asikin, Sultan ke 12 Banten yang memerintah mulai 1553-1773, dalam satu manuskrip disebutkan sebagai Sultan yang sekaligus sebagai khalifah tarikat.
Manuskrip yang dimaksud adalah manuskrip koleksi Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, yang berisi tentang biografi pendiri tarikat Qodiriyah Rifaiyah, yaitu Syekh Ahmad al Rifai (w. 578 H/1183 M), salah satu wali termasyhur di dalam literatur tasawwuf.
Manyskrip itu merupakan petikan dari kitab Al Thabaqaat al Kubra karya Syekh Abdul Wahhab Al Sya'rani.
Di dalam manuskrip itu disebutkan bahwa pemilik kitab ini adalah Sultan Zainal Asyikin yang merupakan khalifah tarikat Qodiriyah Rifaiyyah.
Tertulis disana dalam bahasa Arab:
ملكه من الله تعالي الخليفۃ من بعد الخليفۃ السلطان بن السلطان ابو النصر محمد عارف زين العاشقين القادري الرفاعي تلميذ سيد الشريف موسي بن سيدي الشريف عبد الله القادري الرفاعي الحماوي دام الله في ملكه وعافيته والله يجمعنا في الدنيا والاخرۃ امين۳ يا رب العالمين
Telah memiliki kitab ini seorang khalifah setelah khalifah, seorang sultan putra seorang sultan, Abu al Nashr Muhammad Arif Zaenal Asyikin al Qodiri al Rifa'i, murid dari Sayidi al Syarif Musa bin Sayyidi al Syarif Abdullah al Qodiri al Rifa'i al Humawi, semoga Allah melanggengkan kerajaannya dan kesehatannya, dan semoga Allah mengumpulkan kita di dalam dunia dan akhirat amin 3X ya Robbal alamin.
Memang di dalam tulisan manuskrip ini, kata khalifah bisa dimaknai khalifah sebagai sultan, juga bisa dimaknai khalifah sebagai pemimpin tarikat. Jadi kalimat dalam naskah itu masih multimakna.
Tetapi dalam naskah yang lain, yaitu suatu naskah yang ditulis Syekh Abdullah bin Abdul Qohar al Bantani yang hidup sezaman dengan Sultan Zainal Asikin, dalam kitab karangannya yang berjudul: "Fath al Muluk li Yashila Malik al Muluk ala Qoidat Ahl Suluk", dalam kitabnya itu ia menulis:
سلطان ابو النصر محمد عارف زين العاشقين السلطان السلطان ابن السلطان المرحوم ابو الفتح شفاء زين العارفين خليفۃ الله تعالي في ارضه خليفۃ القادري و الرفاعي وغيرهما قدس الله اسرارهم
Sultan Abu al Nashr Muhammad Arif Zainal Asikin, Seorang sultan putra seorang sultan, yaitu al Marhum Abul Fathi Syifa Zainal Arifin, khalifah Allah Ta'ala di bumi-Nya, khalifah Tarikat al Qodiri dan al Rifa'i dan yang lainnya, semoga Allah mensucikan rahasia mereka.
Dari keterangan Syekh Abdullah ini jelas bahwa kata khalifah al Qodiri itu maksudnya adalah seorang khalifah tarikat.
Dari keterangan itu memberi informasi kepada kita, bahwa betapa jabatan sultan di Banten bukan hanya sebagai pemimpin negara tetapi juga pemimpin spiritual. Itulah mengapa dulu Sultan Abul Mafakhir tidak mementingkan mendatangi pusat kekhalifahan Turki Utsmani di Istambul, ketika meminta pengesahan gelar sultan, tetapi lebih memilih memintanya dari penguasa Makkah yang waktu itu di jabat Syarif Zaid bin Muhsin, padahal kedudukan penguasa Makkah hanya setingkat gubernur. Itu semua karena dalam ideologi kesultanan Banten spiritual lebih tinggi dari kekuasaan, walau pusat kekuasaan Turki Utsmani berada di Istambul, tetapi pusat spiritual tetap berada di Makkah.
Sudah banyak di maklumi masarakat Banten, tentang cerita tutur tinular bahwa Maulana Hasanudin membuang hajat sebulan sekali, walaupun cerita itu mungkin berlebihan, namun rupanya cerita itu bermaksud mengungkapkan betapa "sultan" pertama Banten itu adalah seorang ahli riyadoh yang jarang makan yang menunjukan pemimpin yang bukan hanya berorientasi kekuasaan tapi juga spiritual.
Menurut data Cirebon, Sunan Gunung Jati pernah belajar di Iskandaria, Mesir, dalam data itu di katakan bahwa ia belajar kepada Ibnu Atoilah, pengarang kitab al Hikam, tetapi dilihat dari titimangsa, agaknya yang dumaksud adalah murid dari Ibnu Atoillah. Iskandaria adalah kota pusat ilmu pengetahuan dan spirirual di Mesir, seperti Kairo dengan al Azharnya adalah kota ilmu pengetahuan. Sekali lagi, ayah pendiri kesultanan Banten, Sunan Gunung Jati, memilih tempat belajar, bukan hanya pusat ilmu pengetahuan, tetapi juga pusat spiritual.
Pada masa Sultan Abul Mafakhir, ia mengutus utusan untuk menanyakan berbagai permasalahan tasawuf kepada ulama Makkah yang paking mashur waktu itu yang bernama Ibnu Allan, yang kemudian jawaban-jawaban Ibnu Alan untuk Sultan Banten itu menjadi sebuah kitab yang berjudul: "Al Mawahib al Rabbaniyyah Lil As'ilah al Jaawiyyah".
Sultan Tirtayasa (1651-1682), pengamal tarekat Al Khalwatiyyah yang ia dapatkan dari menantunya, Syekh Yusuf. Selain tarekat-tarekat tersebut, di kesultanan Banten berkembang tarekat Syathoriyyah. Dari keterangan di atas, jelaslah bahwa para sultan-sultan Banten tidak bisa dilepaskan dari tarekat. semua sultan di Banten adalah pengamal tarekat, bahkan ada yang sudah mencapai tingkatan khalifah. Maka tidak berlebihan ketika para peneliti sejarah Islam Nusantara, seperti Ginanjar Sya'ban, mengatakan bahwa Banten adalah pusat ilmu pengetahuan nusantara. Ketika santri-santri dari jawa Timur mulai belajar ke Makkah pada akhir abad 19, di Makkah sudah banyak para santri dari Banten, yang sebagiannya sudah mukim menjadi warga negara Makkah karena tradisi belajar ke Makkah di Banten sudah mulai dari awal abad 17, dan sebagiannya lagi berencana pulang kembali ke Banten.
Adapun tarekat yang sekarang paling banyak pengamalnya adalah tarekat Qadiriyah Naqsyabandiyah yang disebarkan oleh Syekh Abdul Karim Tanara. WALLAHU A'LAM BI AL SHOWAAB.
Komentar
Posting Komentar