CATATAN DARI VOLENDAM



Oleh Imaduddin Utsman

Hari Ahad perpustakaan di Universitas Leiden tutup. Kami tim peneliti dari Banten memutuskan untuk mengisi waktu luang dengan keliling Leiden dan sekitarnya. Tim kami terdiri dari seorang filolog, Doktor Mufti Ali, seorang ahli sastra Belanda, Eni Suryani dan saya sendiri yang mendapat tugas membaca naskah berbahasa Arab.

Bulan Februari di Belanda masih musim dingin, kami yang berasal dari negara tropis tentu sedikit bermasalah dengan cuaca dingin, apalagi jaket yang kami bawa dari Indonesia masih bisa tertembus oleh nyeresetnya angin musim dingin negeri  Belanda. Tapi pagi itu kami tetap melanjutkan niyat untuk keliling Leiden dan sekitarnya.

Untung Kami punya kawan di Leiden yang bersedia membawa kami dengan mobil Volvo-nya, seorang asli Jogja yang punya isteri “none Belande”, ia baik sekali, namanya Mas Yanto, anggah inggih jogjanya masih kental, padahal ia sudah kurang lebih empat puluh tahun ada di Belanda. Kami orang Banten yang berbeda gaya bicara dan anggah inggih akrab sekali dengannya, tentunya akrabnya orang Jogja tidak seekspresif orang Banten. Isterinya juga baik, Caroline beur namanya, wanita cantik ini bahkan memasakan sate sapi ketika kami mampir kerumahnya. Ia cepat akrab. Mungkin anggah inggih Belanda mirip juga dengan anggah inggih Banten. Kami bahkan langsung bisa bercanda dengan Mbak Karolin, begitu ia ingin dipanggil ketika kami memanggilnya bunda.

Kembali ke rencana mengisi waktu luang di hari Ahad. Setelah melihat susana kota Leiden yang asri dan eksotik, kami menuju Volendam di bagian utara Belanda. Belanda negeri yang tidak sebesar Indonesia, luas wilayahnya hanya 41, 543 km persegi, bandingkan dengan luas NKRI yang hampir 2 juta km persegi. Penduduk Belandaa hanya sekitar 17 juta orang, bandingkan lagi dengan penduduk indonesia yang 267 juta jiwa. Kadang saya berfikir kenapa negara yang sebesar ini dulu dapat dijajah oleh negara kecil.

Mas Yanto membawa mobil Volvonya cepat sekali. Ia selalu  mengingatkan kita menggunakan safety belt walaupun Kami duduk di jok belakang. Kesadaran taat hukum di Belanda rupanya tinggi sekali, walaupun selama perjalanan antara Leiden dan Volandam yang berjarak sekitar 70 km dengan waktu tempuh sekitar 40 menit kami tidak menemukan seorang polisipun,  baik polisi bangun maupun polisi tidur.

Kami tiba di Volendam disambut angin yang kencang sekali. Memang prediksi “BMKG”nya Belanda hari ini akan ada badai yang puncaknya nanti jam enam sore. Volendam adalah desa di pinggir pantai yang menjadi salah satu destinasi  wisata Belanda. Orang Indonesia kalau ke Belanda, biasanya pengen mampir ke Volendam. Nampak di etalase ada foto Presiden Gusdur dan  megawati yang pernah mengunjungi voendam ini.

Volendam secara harfiah berarti ‘bendungan yang diisi’, karena menurut sejarah para petani dan nelayan menempati bekas pelabuhan yang dibendung untuk reklamasi tanah tersebut. Awalnya Volendam adalah pelabuhan terdekat dari Kota Edam dan terletak di muara sungai Ij (baca: aiy). Namun kemudian penduduk Edam memutuskan untuk membangun kanal baru yang lebih dekat ke Zuiderzee. Hal tersebut membuat pelabuhan lama tidak berfungsi yang akhirnya dibendung. Keindahan alam desa nelayan itu juga menarik perhatian para seniman kelas dunia, seperti Pablo Picasso dan Pierre-Auguste Renoir yang kerap berkunjung ke sana.

Dalam kartu-kartu pos Belanda tercetak foto barisan perahu nelayan tradisonal tertambat di pelabuhan, kemudian ada pula yang menggambarkan para wanita mengenakan kostum Belanda yang khas dengan baju bergaya celemek dan topi runcingnya. Ikon pariwisata negeri keju itu bisa dilihat di Volendam.

Tidak lupa kami juga berfoto dengan pakaian khas volendam. Studio foto di volendam telah menyediakan kostum tertentu yang merupakan pakaian khas Volendam. Kami juga mampir di pabrik keju di Volendam, kami melihat bagaimana secara turun temurun masyarakat Volendam membuat keju tradisional mereka. Menjelang ashar kami pulang ke Leiden. Sebelum ke Leiden kami menuju Denhaag, yang berjarak 26 km dari Leiden. Salah seorang tim kami ingin membeli sepatu untuk anaknya. Di sana juga kami melihat topi yang bagus seperti yang biasa di pakai Gubernur Banten, Wahidin Halim.

 Setelah itu kami pulang ke Leiden. Sebelum ke hotel tempat Kami menginap, kami sholat ashar di rumah Mas Yanto. Walau Mas Yanto seorang Kristiani, ia sangat menghormati agama lain. Mas Yanto mempersilahkan kami solat di lantai tiga rumahnya. Setelah solat kami menunggu Mbak Karolin dan Mbak Yeni yang sedang masak sate punggung sapi, setelah itu kami makan malam dan pulang ke penginapan. Leiden, 10 Feb 2020.

Komentar