TANGERANG MEMBARA MENJAGA KESULTANAN BANTEN 1749-1751
Oleh Imaduddin Utsman
Di ceritakan dalam Pararimbon Ke-Ariyaan Parahyang, hari itu di Gunung Munara, tempat kediaman Kiayi Tapa, tidak seperti biasanya, suasan begitu nampak ramai. Cucu Aria Wangsakara dan Sultan Abul Mafakhir itu kedatangan saudara-saudaranya dari Banten, Cirebon dan Tangerang. Telah nampak hadir di sana Tubagus Buang, Elang Dale, Elang Mustofa, Ki Tanggal, Ki Akhir dari Tanara, Embah Tanu, Embah Lenggang, dan banyak lagi.
Mereka membicarakan tentang kejadian di Kraton Kesultanan Banten. Sultan Zainal Arifin telah dikhianati oleh istrinya sendiri, Syarifah Fatimah, keturunan Arab yang mengaku sebagai keturunan Nabi Muhammad SAW, bekas janda pejabat VOC. Syarifah Fatimah yang ternyata mata-mata kompeni ini meracuni Sultan Zainal Arifin, suaminya sendiri. Dengan kekuasaan Allah SWT, Racun itu tidak mengakibatkan Sultan tewas, namun sultan mengalami kelainan yang kemudian di sebarkan oleh Syarifah Fatimah bahwa ia telah gila.
Dengan bantuan VOC Belanda, akhirnya Syarifah Fatimah menjadi orang yang paling berkuasa di Kesulthanan Banten. Iapun mengangkat Sayyid Abdullah, familinya, sebagai Sultan Banten. Sementara Pangeran Gusti, putra mahkota Sultan Zainal Arifin, dibuang ke Ceylon, Srilanka.
Tidak hanya mengangkat Sayyid Abdullah sebagai Sultan di Banten, Syarifah Fatimah juga mengangkat familinya yang lain, Sayid Abu Utsman, sebagai Aria Grendeng di Tanggerang, mendampingi Kapten Brooks sebagai penguasa kompeni di Tangerang.
inilah mengapa hari itu, keluarga kesultanan Banten, Cirebon dan Tangerang kumpul di kediaman Ki Tapa bin Ratna Sukaesih binti Raden Aria Wangsakara, di Gunung Munara, sekarang sekitar Rumpin Bogor. Mereka sedang mempersiapkan pemberontakan terhadap Syarifah Fatimah dan Sayyid Abdullah yang merupakan sultan boneka antek kompeni Belanda.
Yang menjadi target adalah dua pusat kekuatan kompeni, yaitu di Kerathon Surasowan dan di Tangerang. Dipersiapkanlah penyerangan di kedua titik itu. Sebelum hari H, Ki Tapa mengutus kedua putranya, Ki Mahdor dan Ki Mihdor untuk datang ke Kali pasir menemui Pamannya yaitu Ki Endeng Bagus Uning, dalam kesempatan itu Keduanya mengatakan bahwa nama asli ayahnya tidak boleh dicatat dalam buku apapun, cukup namanya ditulis Ki Tapa. Ki Mahdor dan Ki Mihdor adalah santri dari Ki Sera, seorang kiayi yang ahli pencak silat dari Karawaci.
Kemudian diutuslah Raden kohar dan Raden Romdon dari Kali Pasir untuk menemui para keluarga di Banten Girang. Pada hari yang disepakati pasukan Ki Tapa dan Tubagus Buang menyerang Kraton Surasowan. Namun serangan pertama ini gagal karena pasukan Syarifah fatimah yang di bantu Belanda begitu kuat.
Maka di buatlah taktik perang gerilya, yaitu dengan mengadakan serangan di berbagai tempat. Dibuatlah kantong-kantong pejuang di sana-sini untuk mengecoh pasukan Ratu Syarifah dan Belanda. Pandeglang, jasinga, Bogor dan Tangerang bergolak.
Ki Mihdor, putra Ki Tapa, di bantu oleh Ki Gambyeng dan Ki Damirin atau dikenal dengan nama penghulu Dami, menyerang pasukan Kompeni di Pinang dekat sungai Ciangke. Sementara adiknya, Ki Mahdor, bersama Ki Anggara menyerang Curug dan Rajeg. Sementara Benteng Belanda di Tangerang di serang oleh Ki Bana dan Ki Tanggal. Ki Ragil dari Cikande dan Ki Akhir bin Ki Karomuddin, Cucu Syekh Ciliwulung Kresek, menyerang Karawaci dari Kelapa Dua.
Ki Tapa sendiri bersama pasukan berani matinya menyerang kompeni di Kademangan. Sementara Tubagus Buang dan tentaranya mengobrak-abrik pusat kompeni di caringin. Pesantren Ki Sera di Karawaci di serbu dan di bakar oleh kompeni. Pesantren ini dianggap berbahaya karena Ki Mahdor dan Ki Mihdor dari Pinang yang ikut memberontak mesantren di tempat itu.
Kompeni kewalahan menghadapi serangan-serangan yang dibantu seluruh rakyat Banten ini. kemudian kompeni memberlakukan peraturan bahwa warga pribumi dilarang keluar dari rumah. Hal ini bermaksud agar rakyat tidak bisa membantu logistik pasukan pejuang. Masa pemberlakuan peraturan itu dikenal dengan: “Usum poek peuting poek beurang, masa malam gelap siang gelap”.
Setelah segala daya upaya dilakukan untuk menumpas pasukan Ki Tapa dan Tubagus Buang akhirnya Kompeni Belanda menyerah. Sayyid Abdullah, sultan boneka Belanda, diturunkan dari jabatannya sebagai Sultan Banten. Pangeran Gusti dipulangkan dari Srilanka dan ditetapkan sebagai Sultan Banten. Begitu juga di Tangerang, Sayyid Abu Utsman diturunkan sebagai aria Gerendeng digantikan oleh Raden Romdon. Sementara Syarifah Fatimah dibuang di Pulau Edam di Pulau Seribu sampai meninggal dunia. (Di sarikan dari buku manuskrip Pararimbon ka-Ariyaan parahyang h. 12-13) Wallahu A’lam bi al Showwab.
Komentar
Posting Komentar