NAHDLATUL ULAMA DAN JILBAB
Oleh Imaduddin Utsman (Wakil Katib PWNU Banten)
Ternyata masalah jilbab masih menarik di bahas dalam berbagai perbincangan publik. Ada hal yang menarik dari jilbab dibanding tuntunan ajaran Islam lainnya, karena jilbab sesuatu yang superficial dan mudah di nilai. Bahkan gejala akhir-akhhir ini, jilbab dijadikan komoditi demarkasi antara kesalehan dan ketidaksalehan. Ada yang memandang jilbab sebagai ajaran fundamental Islam dan ada yang memandangnya hanya sebatas tafsir sosial dari teks yang suci. lalu dimana Nahdlatul Ulama (NU) bersila dalam ruang majlis pembahasan jilbab ini?
Sebelum kita membahas posisi NU dalam pembahasan Jilbab ini, alangkah lebih baik bila kita ketengahkan terlebih dahulu pendapat ulama tentang aurat wanita. Pembahasan ini penting karena sangat erat kaitannya dengan masalah jilbab yang dibahas cukup hangat di Indonesia.
Madzhab Syafi’i berpendapat bahwa awrat bagi wanita dibagi dua: awrat wanita merdeka dan awrat wanita budak. Awrat wanita merdeka, menurut madzhab Syafi’i, adalah seluruh tubuh kecuali wajah dan telapak tangan. Wajah dan telapak tangan tidak termasuk awrat bagi wanita merdeka, baik dalam solat maupun di luar solat, berlandaskan firman Allah SWT:
وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلا مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ وَلا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلا لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ آبَائِهِنَّ أَوْ آبَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ أَبْنَائِهِنَّ أَوْ أَبْنَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي أَخَوَاتِهِنَّ أَوْ نِسَائِهِنَّ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُنَّ أَوِ التَّابِعِينَ غَيْرِ أُولِي الإرْبَةِ مِنَ الرِّجَالِ أَوِ الطِّفْلِ الَّذِينَ لَمْ يَظْهَرُوا عَلَى عَوْرَاتِ النِّسَاءِ وَلا يَضْرِبْنَ بِأَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ مَا يُخْفِينَ مِنْ زِينَتِهِنَّ وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَا الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ (النور:31)
"Dan katakanlah kepada perempuan yang beriman, "Agar mereka menjaga pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah menampakkan perhiasannya (auratnya), kecuali yang (biasa) terlihat. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya (auratnya), kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putra-putra mereka, atau putra-putra suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara perempuan mereka, atau para perempuan (sesama Islam) mereka, atau hamba sahaya yang mereka miliki, atau para pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap perempuan), atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat perempuan. Dan janganlah mereka menghentakkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertobatlah kamu semua kepada Allah, wahai orang-orang yang beriman agar kamu beruntung". (Annur: 31)
Dalam ayat ini, kalimat: “ illa ma dzoharo minha” , kecuali yang tampak dari (perempuan), ditafsiri oleh ulama Syafi’iyyah dengan: “kecuali wajah dan kedua tapak tangan”. Pendapat ini dapat ditemukan, misalnya, dalam kitab Tuhfat al Muhtaj (juz 1 h. 219, Daar al Kutub al Ilmmiyyah, Beirut) karangan Ibnu Hajar Al Haitami (w. 974 h.), kitab yang paling menjadi rujukan ulama Madzhab Sya’fi’i, yaitu kitab komentar (syarah) dari kitab karya Imam Nawawi (w.676 h.), Minhaj al Tholibiin.
Sebagian ulama Syafi’iyah ada juga yang membedakan awrat wanita merdeka di dalam solat dan di luar solat. Misalnya Muhammad Ibnu al Qosim, dalam kitabnya: Fath al Qorib al mujiib, ia berpendapat bahwa awrat wanita merdeka didalam solat adalah seluruh tubuhnya kecuali wajah dan telapak tangan, sedangkan di luar solat seluruh tubuhnya tanpa terkecuali. (Fath Al Qorib, bi haamisyi Tausyiih, h. 53, Al Hidayah, Surabaya).
Sedangkan awrat wanita budak, menurut Madzhab Syafi’i, di dalam solat dan di luar solat, cukup hanya menutupi antara pusar dan dengkulnya. Tidak ada bedanya, apakah wanita budak ini cantik ataupun tidak.
Lalu bagaimana pendapat ulama Madzhab empat selain Madzhab Sya’fi’i?
Madzhab Hambali dalam masalah awrat relatif sama dengan Madzhab Sya’fi’i. Sedangkan madzhab Hanafi, menurut mereka, selain wajah dan telapak tangan, telapak kaki juga tidak termasuk awrat. Pendapat ini, misalnya, dapat dilihat dalam kitab: Al Durr al Muntaqo, karya Muhammad Ala’uddin (juz 1 h. 71).
Sedang menurut Madzhab Maliki, jika dikhawatirkan fitnah, wajib menutup wajah. Artinya menurut Madzhab Maliki, awrat wanita merdeka termasuk wajahnya jika dikhawatirkan fitnah dengan membukanya. Bila tidak dikhawatirkan fitnah, misalnya karena wanita ini tidak cantik, maka menutup wajah tidak wajib. Pendapat Madzhab Maliki ini bisa ditemukan dalam kitab-kitab mereka, misalnya kitab Mawahib al Jalil, karya Al Hattobi (juz 1 h. 499).
Dari penjelasan di atas jelas bahwa madzhab empat tidak ada yang berbeda mengenai wajibnya menutup rambut kepala, dan hampir bersepakat tentang tidak termasuknya wajah di dalam awrat wanita merdeka. Dari itu maka hukum cadar, menurut madzhab yang empat, dalam qaul mereka yang kuat, adalah tidak wajib, kecuali dalam keadaan khawatir terjadi fitnah.
Dari sini, maka sebagai ormas Islam yang dalam penegasannya di dalam AD/ART mengikuti salah satu dari madzhab yang empat, maka NU, dalam masalah hukum berjilbabpun tidak mungkin keluar dari madzhab empat, yaitu bahwa bagi wanita merdeka menggunakan penutup rambut itu hukumnya wajib.
Namun jangan juga lupa, bahwa dalam masalah awrat, ada hukum juga yang berlaku bagi wanita budak, di mana wanita budak boleh tidak berjilbab, bahkkan tidak menggunakan baju dihadapan orang lain saja boleh. Disinilah kita akan berhadapan dengan pemiikiran: apakah hukum wanita budak ini masih ada atau tidak ada? Kalau masih ada, apakah wanita budak itu hanya wanita dari negeri kafir yang kalah perang? Atau definisi yuridisnya bergeser menjadi setiap wanita yang memiliki strata sosial-keagamaan yang rendah? Kalau dulu perbudakan adalah keterpaksaaan, apakah sekarang bisa menjadi pilihan? Khususnya dalam masalah jilbab. Dia yang mengidentifikasi dirinya terhormat maka wajib berjilbab, sedang ia yang mengidentifikasi dirinya berbeda silahkan saja tidak berjilbab. Atau bagaimana? Maka perlu ini juga menjadi pemikiran para ulama.
Mengenai pendapat ulama selain madzhab yang empat yang berpendapat bahwa wanita merdeka tidak wajib berjilbab, seperti pendapat Syahrur dalam kitabnya Al Qur’an Qirooat mu’ashirot (hal. 606), tidak dapat dijadikan rujukan karena pendapat itu syadz dan bertentangan dengan ijma. Wallahu A’lam Bi Al Showaab.
Komentar
Posting Komentar