KEDANGKALAN LOGIKA KHAWARIJ DI TENGAH SAMUDRA FIQIH ULAMA NU



Oleh: Imaduddin Utsman

Indonesia dan Mesir adalah termasuk dua negara yang sulit ditundukan kaum khawarij. Syiria, Irak, Libia dan Yaman telah diporak-porandakan oleh kaum Khawarij dengan isu sebagiannya adalah pendirian negara islam dan sebagiannya lagi dgn sentimen "Sunni"-"Syiah".

Ketahanan Indonesia dan Mesir dari serangan faham khawarij ini dikarenakan kedua negara ini memiliki Imunitas komunal yaitu mayoritas umat islam yang berfaham moderat, yaitu faham Aswaja madzhab Asy'ariyah Maturidiyah. Indonesia memiliki NU dan Mesir memiliki Al Azhar. NU sebagai ormas Islam terbesar di Indonesia kemoderatannya terlalu kuat untuk bisa di tembus faham khawarij, karena NU memiliki kaderisasi yang kokoh di pondok-pondok pesantren. Begitupula Mesir, Al Azhar yang konsisten berfaham moderat menguasi pendidikan Islam di sana mulai dari level bawah sampai atas.

Faham khawarij yang ciri utamanya adalah melawan pemerintahan yang sah dan seluruh pendukungnya, senantiasa berhadapan dgn faham Aswaja Asy'ariyyah-Maturidiyah yang dalam politik berfaham haramnya melawan pemerintah yang sah dan yang melawannya adalah bughot.

Dalam pertarungan itu, menurut faham khawarij, tidak haram menggunakan cara apapun untuk dapat meruntuhkan pemerintah, termasuk membunuh, memfitnah dan berdusta. Maka jangan heran jika di medsos berseliweran dusta dan hoak akhir-akhir ini, sangat difahami bahwa itu semua merupakan usaha khawarij untuk menciptakan ketidakpercayaan terhadap pemerintah dan ulama Aswaja Asy'ariyah-Maturidiyah yang dalam hal di Indonesia adalah ulama-ulama NU.

Memang seperti pertarungan yang tidak seimbang, ketika kaum khawarij menghalalkan fitnah dan dusta, sementara ulama NU mengharamkannya. Namun ternyata usaha khawarij dgn berbagai fitnah dan dustanya itu tetap saja bagai mati kutu menghadapi ulama-ulama NU. Bahkan  seakan-akan ulama NU mempermainkan kaum Khawarij dengan strategi yang cukup sulit ditebak.

Contohnya adalah ketika diskursus tentang pengucapan salam lintas agama bergulir, yaitu ketika MUI Jatim mengharamkannya, ulama-ulama NU ring satu diam, karena memang dalil keharaman pengucapan salam sangat kuat. Tetapi bukan NU namanya kalau tidak mempunyai jalan keluar agar pejabat muslim dapat mengayomi pemeluk agama lain. Keluarlah hasil bahsul masail PWNU Jatim yang membolehkan pejabat mengucapkan salam lintas agama untuk menjaga kerukunan, sedangkan untuk selain pejabat hukumnya tetap haram.

Namun ketika polemik pengucapan "selamat natal" bergulir, Banyak ulama ulama ring satu NU dengan tegas mengucapkan "Selamat natal". Tentu saja hal itu bukan tanpa kesadaran akan diserang oleh kelompok khawarij di media sosial.

Betul saja, bermunculanlah berbagai caci maki di medsos utk mendiskreditkan ulama-ulama NU yang mengucapkan selamat Natal. Mereka terjebak diranah ikhtilaf yang toleratif. Dalam strategi ini ulama NU ingin mengatakan betapa bodohnya kaum khawarij itu dalam ilmu fiqih. Betapa mereka tidak bisa  membedakan mana masalah hukum ikhtilaf yang tidak ada nash dari Al-Qur'an dan Al-Hadits, dan mana yang tidak bisa ditawar karena telah tegas disebutkan hukumnya didalam keduanya.

Memulai mengucapkan salam kpd non muslim terdapat hadits yang melarangnya, apalagi dgn kalimat salam agama yang bersangkutan. Sementara mengucapkan selamat natal sama sekali tidak ada dalil yang melarangnya. Dalam logika kaum khawarij tentu mengucapkan selamat natal mereka fikir lebih parah dari mengucapkan salam kepada non muslim. Disitulah mereka terjebak dalam kubangan kebodohan yang melandaskan agama bukan berdasarkan illmu tetapi berdasarkan perasaan dan hawa nafsu.

Contoh lainnya adalah bagaimana ulama NU begitu PD menganggap menjadi wapres adalah bagian dari pengabdian untuk bisa lebih banyak berbuat yang bermanfaat bagi masyarakat yang lebih luas, sementara kaum khawarij itu menganggap ulama yang menjadi wapres adalah ulama yang telah terpedaya dunia. Sekali lagi kaum khawarij terjebak dalam kebodohan, kali ini kebodohan historis, seakan mereka lupa bahwa sunan gunung jati, sultan maulana hasanuddin dsb adalah ulama yang sekaligus umara. Lebih ke atas lagi tentu khulafaurrasyidin: Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali ra, semuanya adalah ulama sekaligus mereka pemimpin negara. Apakah mereka berfikir khulafaurrasyidin itu juga terpedaya oleh dunia. Dan, ini yang kaum khawarij terkena bandul, Nabi Muhammad SAW, apakah bukan pemimpin negara? Lalu apa urgensi kaum khawarij mengajak umat islam, katanya, mendirikan negara islam atau khilafah?

Tentu kalau mau dibahas serius bagaimana kacaunya logika khawarij, akan banyak membutuhkan ruang, dan tulisan ini tentu bukan tempatnya.

Selain bodoh, logika kaum khawarij juga tampak lucu, contohnya tentang maksud kata menegakan khilafah. Ketika dipertanyakan, apa maksud ingin menegakkan khilafah? mereka menjawab bahwa khilafah yang mereka maksud adalah khilafah akhir zaman ketika Imam Mahdi turun. Seakan akan mereka sudah tahu bahwa imam mahdi akan segera turun. (Bag. 1 Bersambung)

Komentar