CERAMAH GUS MUWAFIK MENURUT ILMU BALAGHOH DAN QOIDAH FIQIH



Oleh Imaduddin Utsman (Wakatib PWNU Banten)



Kontroversi tentang ceramah Gus Muwafiq yang di anggap menghina Nabi Muhammad SAW ternyata belum reda juga. Di media sosial berseliweran berbagai tanggapan tentang ceramah itu. Ada yang menyatakan Gus Muwafiq sesat; ada yang menyatakan Gus Muwafiq munafik, bahkan ada yang menyatakan ia telah kafir sehingga harus bersyahadat ulang.

Kalimat menghina dalam Bahasaa Arab adalah “sabb” dan “syatm.”  Para ulama sepakat bahwa orang yang menghina Rasulullah SAW adalah kafir, wajib dibunuh. Jadi karena konsekwensinya berat, maka harus sangat hati-hati kita dalam menyatakan bahwa seseorang telah menghina Rasulullah SAW, karena ketika kita mengatakan bahwa ia telah menghina Rasulullah SAW berarti kita telah menyatakan dia kafir. Sedangkan orang yang menyatakan kepada orang mukmin bahwa ia kafir maka kata-kata itu akan berbalik kepadanya seperti yang termaktub dalam hadits  riwayat Imam Muslim: “siapa saja yang berkata kepada saudaranya: “Hai Kafir”, maka salah satu dari keduanya telah kafir; kalau yang dipanggil itu betul kafir (maka berarti tepat disebut kafir), tapi kalau yang dipanggil kafir itu ternyata bukan orang kafir maka kalimat kafir itu kembali kepada yang menggatakannya”.

Konsekwensi kedua dari sembarangannya kita menyebut orang dengan penghina Rasulullah SAW adalah seperti apa yang terdapat dalam kitab Al-Syifa karangan Al Qodi Iyadh Al Yahsobi Al Maliki (w.544) dimana dikatakan dalam kitab itu: “Barangsiapa yang ragu bahwa penghina Rasulullah itu kafir maka ia telah kafir” (juz 2 h. 214). Jadi bila kita menyebut seseorang yang belum jelas ia menghina rasul  atau tidak dengan sebutan tegas bahwa ia penghina rasul, maka sama saja ia telah menyebut orang yang tidak setuju bahwa yang dituduh penghina itu betul penghina rasul, juga adalah kafir.

Dalam kasus Gus Muwafiq jelas sekali terdapat perbedaan pendapat para ulama, ada yang mengatakan pernyataan itu sudah dianggap menghina seperti Ustad yahya Waloni, Ustad Idrus Ramli,  Ustadz Haikal Hasan, Ustadz Taufik Assegaf dari Pasuruan, Ustadz Hanif Al Attos dsb. Ada juga jumhur ulama NU yang mengatakan pernyataan Gus Muwafik ini belum termasuk menghina Rasululllah.

Lalu bagaimana pandangan penulis terhadap masalah ini? dari sejak awal melihat video ceramah Gus Muwafiq penulis melihat ini sebagai sebuah kasus verbal yang bisa ditafsiri macam-macam. Bisa ditafsiri memuji bisa juga ditafsiri menghina. Bisa ditafsiri memuji, karen acara itu memang acara yang  dilaksanakan dan dipersiapkan dengan susah payah  untuk mengagungkan Nabi Muhammad SAW, judul besarnya adalah acara Maulid nabi, dan acara maulid nabi ya tidak lain adalah untuk mengangungkan Nabi. Itu yang pertama.

Yang kedua kalimat-kalimat yang dinyatakan oleh Gus Muwafik itu, menurut penulis, secara tidak langsung, adalah dalam rangka menafsiri ucapan Allah SWT dalam Surat Al-Kahfi ayat 110, “Katakanlah (Wahai Muhammad) Aku hanyalah manusia seperti kalian yang diberi wahyu”. Mungkin, Gus Muwafik ingin menggaris bawahi kata-kata “manusia seperti kalian” itu dengan membawa hadirin kepada bahwa memang Nabi itu betul-betul orang yang memiliki sifat sifat manusia seperti yang disebutkan dalam Al-Qur’an itu, baik ketika sudah menjadi nabi, maupun ketika masih kecil. Kemudian yang membedakan Nabi Muhammad SAW dengan manusia lainnya adalah bahwa Nabi Muhammad  itu adalah seorang Nabi yang diberi wahyu oleh Allah. Dengan kalimat-kalimat itu Gus Muwafik ingin mengangkat tingginya pangkat kenabian yang kalaulah bukan karena pangkat kenabian itu maka Nabi Muhammad adalah manusia seperti lainnya.

Yang ketiga, Dalam ilmu Balaghoh, perkataan Gus Muwafik ini bisa dimasukan kepada istilah badi ta’kid al madh bi syibhi al dzam, yaitu cara menguatkan pujian tapi dengan kalimat-kalimat yang terkesan menghina. Para kiayi NU sudah memahami istilah ini, maka kita saksikan mereka tidak merespon berlebihan dengan ungkapan Gus Muwafik.

Kenapa saya katakan diawal bahwa ungkapan Gus Muwafiq ini bisa dianggap menghina, karena badi ta’kid al madh bi syibh al dzam itu mirip menghina bagi orang yang memahami sekilas. Tapi jika difahami mendalam, jelas sekali apa yang diungkapkan itu garis besarnya adalah memuji.

Yang keempat, poin terakhir yang ingin penulis sampaikan, dalam fan Qowaid al Fiqhiyah (kaidah-kaidah fiqih), ungkapan yang disampaikan Gus Muwafik masuk dalam kaidah “Maqosidu al lafdzi ala niyyati al laafidz” (tujuan-tujuan lafadz dikembalikan terhadap niyat orang yang mengatakannya). Kalau seorang suami mengatakan lafadz talak yang tegas, seperti “aku ceraikan engkau”, maka kalimat itu telah dihukumi menjatuhkan talak, terlepas apakah dia niyat talak atau tidak? Tetapi jika ia mengatakan kalimat talak yang tidak tegas seperti “engkau haram bagikku”, maka tidak serta merta talak jatuh, kalimat seperti itu harus dikembalikan kepada niyat orang yang mengatakannya. Jika ia berniyat talak, maka jatuhlah talaknya, kalau tidak niyat talak maka talak itu tidak jatuh.

Begitu pula bila seseorang mengatakan kalimat yang tegas menghina, maka ia dihukumi menghina walau ia kemudian mengatakan bahwa maksudnya bukan menghina. Seperti mengatakan “pulan adalah babi”, maka kalimat seperti itu sudah jelas dan tegas mengghina. Tapi kalau yang dikatakanya tidak tegas menghina, maka dikembalikan kepada yang mengatakannya, apa tujuannya mengatakan kalimat seperti itu? Kalau ia mengatakan bahwa tujuannya adalah menghina, maka berarti kalimat tersebut memang adalah sebuah penghinaan. Tetapi ketika ditanya tujuannya bukan menghina maka ungkapan kalimat itu bukan penghinaan. Dan Gus Muwafik telah memberikan klarifikasi bahwa tujuannya bukan menghina, maka selesailah masalah bagi orang yang berilmu dan memahami. Sekian.

Komentar