Marwah Santri dan Pewajiban Jilbab


MARWAH SANTRI DAN PEWAJIBAN JILBAB DI SEKOLAH UMUM

Oleh Imaduddin Utsman

Ephoria formalisasi Islam yang melanda Indonesia sejak masa reformasi juga merambah kepada lembaga pendidikan umum, baik lembaga negeri maupun swasta. hal tersebut dapat ditandai dengan maraknya peraturan wajib berjilbab bagi siswi sekolah tersebut. Sebagian sekolah yang mewajibkan jilbab itu berpayung hukum dengan undang-undang tentang Sisdiknas yang memberikan kewenangan tiap sekolah untuk menentukan seragam sendiri, sebagiannya lagi karena ada Perda di daerahnya yang mengatur tentang itu.

Ada dua faktor yang menyebabkan sekolah umum membuat aturan wajib jilbab, masing-masing internal dan eksternal. Yang pertama, faktor guru yang terpengaruh oleh pemikiran-pemikiran yang ingin mengimplementasikan syariah di ruang publik. Yang kedua, mewajibkan jilbab sebagai bagian dari strategi pasar di dunia pendidikan. Kalau dulu orang tua menyekolahkan anaknya ke sekolah negeri ingin yang bermutu, bagus, rangking tinggi, sekarang permintaannya bertambah lagi, tidak hanya pintar tapi juga saleh. Adapun perda yang mengatur kewajiban berjilbab itu muncul, sebagian karena desakan partai  sebagai bagian dari strategi politik untuk mendapatkan simpati publik.

Namun dalam tulisan ini penulis tidak akan menyoroti tentang  pro-kontra wajib berjilbab di sekolah umum dari sisi legal-formal,  upaya penerapan syari’ah atau dari sisi keragaman. Tapi penulis akan fokus terhadap dua hal: Pertama apa dampak pewajiban jilbab ini terhadap akhlak mereka dalam kehidupan; Kedua, moralitas peradaban kaum santri yang terdampak dari pewajiban jilbab di sekolah umum, hubungannya dengan kurangnya marwah religiousitas yang dijaga dari siswi sekolah umum.

Masuk ke sebuah lembaga pendidikan adalah sebuah pilihan, kadang pilihan siswa yang bersangkutan, kadang pula pilihan orang tua. Pilihan itu berhubungan erat dengan standar apa yang ingin dicapai ketika siswa itu lulus dari lembaga pendidikan tersebut?, keadaan ekonomi dan pakem keluarga. Untuk yang disebutkan terakhir misalnya keluarga para kiayi tentu pilihan pakemnya adalah pondok pesantren agar anaknya bisa melanjutkan perjuangan keluarganya dalam dakwah agama. Biasanya keluarga tertentu telah memiliki pakem pula mengenai model pondok pesantren yang menjadi pilihan dan tidak mudah terpengaruh oleh maraknya iklan dan pandangan orang lain. Untuk alasan ekonomi dan standar yang ingin dicapai, siswa atau orang tua akan menentukan pilihan lembaga tertentu dengan konsekwensi mentaati peraturan yang ada disekolah tersebut, termasuk dalam masalah kewajiban berjilbab.

Siswi yang belum siap berjilbab terpaksa harus mau mengenakan jilbab di sekolah walaupun ia kemudian melepaskannya setelah pulang sekolah. Bila ia tak mau mengenakan jilbab tentulah pihak sekolah akan mengatakan bahwa mengenakan jilbab sudah menjadi peraturan sekolah ini, bila tidak bersedia mengenakan jilbab maka tidak boleh belajar di sekolah ini.

Maka bisa kita saksikan dengan peraturan sekolah yang mewajibkan jilbab seperti ini akan membawa kepada banyaknya siswi berjilbab dengan terpaksa. Hanya karena tidak ada pilihan. Bukan dari lubuk hati dan keinginan sendiri. Mungkin harapan regulator dari peraturan itu semoga kemudian jilbab akan menjadi bagian dari kehidupan siswinya dan akan berdampak baik dalam kepribadiannya. Mungkin harapan seperti itu sudah banyak yang terjadi bagi sebagian siswi, walau juga bagi sebagian yang lain justeru tidak. Mengenakan jilbab hanya sebagai peraturan sekolah saja, aksesoris yang diwajibkan sekolah, lain tidak. Maka kita bisa menyaksikan di jalan raya siswi-siswi berjilbab yang berboncengan dengan teman laki-lakinya dengan sikap tertentu yang tidak mencerminkan akhlak islami. Sebagian lagi dibonceng gayor. Sebagian lagi jilbabnya sudah dibuka ketika baru keluar dari pintu gerbang sekolah. Dan di tempat-tempat tongkrongan kita dapat menyaksikan wanita muda yang masih berseragam sekolah dan berjilbab nongkrong bersama teman-temannya baik laki-laki maupun perempuan, kadang di depannya ada minuman, entah minuman apa, dan menghisap rokok.

Lalu apa hubungannya pewajiban jilbab di sekolah umum dengan pesantren? Dari adanya kejadian seperti di atas, tentu saja ada hubungan dengan pesantren, terutama para santri putri. Adanya siswi yang mengenakan jilbab dengan terpaksa dengan  akhlak yang tidak sesuai dengan busananya itu akan membiaskan antara mereka dan santri putri yang mngenakan jilbab dengan sukarela dengan akhlak yang relatif sudah terjaga. Pandangan masyarakat bisa saja menganggap sama antara mereka yang menggunakan jilbab dari mereka yang berasal dari sekolah umum dan mereka yang dari pesantren. Sakralitas marwah keagamaanpun akan turun. Dia yang menjaga diri dengan dia yang tidak menjaga diri sepintas akan tampak sama. Tentu ini akan mengacaukan cara pandang publik terhadap santri putri. Apalagi seragam sekolah relatif sama antara dia yang di umum dengan dia yang dipesantren.

Kemudian bagaimana pandangan fiqih terhadap fenomena ini? Dilihat dari sudut pandang cara berpakaian Fiqih Islam mengatur bagaimana cara berpakaian seorang muslimah. Dalam madzhab Syafi’i, pendapat yang masyhur adalah bahwa aurat wanita muslimah yang  hurrah (merdeka) adalah seluruh badannya kecuali wajah dan telapak tangan. Sedangkan untuk wanita muslimah amat (budak)  adalah antara pusar dan dengkulnya. Ada juga pendapat yang mengatakan bahwa aurat muslimah yang budak adalah seluruh tubuh kecuali kepala, leher dan lengannya.

Lalu apa hubungannya dengan seragam sekolah? Begini! Ketika dalam syariat islam-pun ada perbedaan antara muslimah hurrah dan muslimah amat, ini menunjukan bahwa cara berpakaian yang diatur dalam islam untuk muslimah juga tidak tunggal. Ada perbedaan tergantung kedudukannya dalam strata sosial. Hal ini tentu mengandung makna bukan hanya dilihat dari sisi apakah perbudakan itu masih ada atau tidak, tapi lebih jauh apakah akhlak dan budaya budak itu masih ada atau tidak. Artinya perbedaan dasar akhlak dan budaya seorang wanita muslimah ditentukan pula oleh akhlak dan budaya yang melingkupinya, misalnya keluarga dan lingkungan sekitarnya. Ilmu pengetahuan dan cakrawala pandangan hidup bisa merubah, tapi sebelum bisa berubah harus ada identitas eksplisit yang membedakannya.

Umar bin Khotob RA pernah melihat seorang amat yang menggunkan hijab lalu ia memukulnya sambil berkata, “janganlah engkau menyerupai wanita merdeka!”. Hadis ini diriwayatkan oleh ibnu Abi Syaibah dalam kitab Al Musonnafnya (2/41, bab Al Sholaawaat).

Dari hadits ini Umarbin Khottob RA lebih memandang jilbab  sebagai pakaian penegas identitas antara hurrah dan amat, walaupun amat itu sendiri seorang muslimah, bukan hanya sebagai syariat unsich. Kalau hanya menurut syariat tentu walau aurat amat hanya sebatas pusar dan dengkul, bila ia menutup aurat seperti hurrah, akan lebih baik.

Ini pulalah yang ingin saya ajak para pembaca untuk berpariwisata dalam kebijaksananaan dari masalah pewajiban jilbab di sekolah ini. alangkah lebih baik kita dorong anak-anak kita untuk terlebih dahulu memahami marwah, akhlak dan tuntunan islam yang mulia sebelum kita taklif mereka dengan taklif yang sangat sukar di lakukan dengan sepenuh hati karena belum lahir dari kesadaran pribadi. Yang akhirnya, taklif itu kemudian berkonsekwensi tercederainya komponen lain dari bangunan peradaban dan akhlak islam.



Materi pewajiban jilbab yang sedang kita bicarakan ini walau titik pandangnya kepada pewajiban jilbab disekolah tetapi juga mencakup pewajiban jilbab yang juga marak di berbagai instansi dan perusahaan. Yang terpenting adalah bagaimana sekolah dan instansi manapun tidak membatasi apalagi melarang siapa saja wanita yang mau menggunakan jilbab yang lahir dari ke-inshafan pribadinya. Wallahu a’lam bi al shaowwab.



Wakatib PWNU Banten, 17-11-2019

Komentar