Kalau Masuk Banten Hati-Hati Dengan Kelompok Ini
KALAU MASUK BANTEN, HATI-HATI DGN KELOMPOK INI
Ada hal yang agak beda kalau kita masuk daerah Banten. Daerah yg terkenal dengan julukan "tanah jawara" ini, sebenarnya lebih tepat disebut "tanah santri". Hal itu bisa dilihat dari cara berpakaian sekelompok masyarakatnya yang menjadikan kain sarung sebagai pakaian lumrah yg biasa mereka pakai bukan hanya ketika acara keagamaan saja tetapi di tempat-tempat umum. Di pasar, di mall, di terminal, di rumah sakit, di perkantoran pemerintah kita akan sering menyaksikan laki-laki yg bersarung.
Lalu, Siapakah sebenarnya mereka? Kalau kita telusuri, ternyata mereka bukan hanya berasal dari lulusan pesantren atau kiayi , tetapi, selain santri dan kiayi, lelaki yg bersarung di deerah Banten, adalah para orang2 yg memiliki misi menjaga tradisi keagamaan para leluhur mereka yaitu para sultan Banten. Walau tidak ada data yang jelas, apakah zaman sultan itu sudah dikenal adanya kain sarung, tapi nampaknya, sarung sebagai identitas santri diambil oleh mereka juga sebagai identitas keturunan sultan yang masih kental memegang tradisi dalam melanjutkan dakwah islam.
Maka kelompok laki-laki bersarung ini, di Banten, biasanya merupakan para tokoh-tokoh agama dan pemimpin-pemimpin masyarakat. Bukan hanya dia yg berpangkat kiayi dan santri, tetapi pedagang, para bos, para pejabat, di waktu-waktu tertentu kerap kita akan menyaksikan mereka mengenakan pakaian sarung ini. Bahkan rapat-rapat nonformal pejabat tinggi di Banten, kerap menggunakan kain sarung.
Maka tak heran di Banten mobil-mobil mewah itu kerika terparkir penumpang yg turun dari mobil mewah itu orang-orang bersarung dan berpeci.
Bisa dikatakan kelompok masyarakat ini merupakan kelompok terhormat dari struktur sosial modern masyarakat Banten. Para jawara dimana Banten dijuluki sebagai "tanah jawara", juga sangat menghormati kelompok bersarung ini dan nampaknya nyaris tidak pernah ada bentrokan atau gesekan para jawara dgn kelompok ini.
Tentu hal ini tidak bersifat general tetapi hanya bersifat dominatif saja. Terimakasih. (Imaduddin Utsman)
Ada hal yang agak beda kalau kita masuk daerah Banten. Daerah yg terkenal dengan julukan "tanah jawara" ini, sebenarnya lebih tepat disebut "tanah santri". Hal itu bisa dilihat dari cara berpakaian sekelompok masyarakatnya yang menjadikan kain sarung sebagai pakaian lumrah yg biasa mereka pakai bukan hanya ketika acara keagamaan saja tetapi di tempat-tempat umum. Di pasar, di mall, di terminal, di rumah sakit, di perkantoran pemerintah kita akan sering menyaksikan laki-laki yg bersarung.
Lalu, Siapakah sebenarnya mereka? Kalau kita telusuri, ternyata mereka bukan hanya berasal dari lulusan pesantren atau kiayi , tetapi, selain santri dan kiayi, lelaki yg bersarung di deerah Banten, adalah para orang2 yg memiliki misi menjaga tradisi keagamaan para leluhur mereka yaitu para sultan Banten. Walau tidak ada data yang jelas, apakah zaman sultan itu sudah dikenal adanya kain sarung, tapi nampaknya, sarung sebagai identitas santri diambil oleh mereka juga sebagai identitas keturunan sultan yang masih kental memegang tradisi dalam melanjutkan dakwah islam.
Maka kelompok laki-laki bersarung ini, di Banten, biasanya merupakan para tokoh-tokoh agama dan pemimpin-pemimpin masyarakat. Bukan hanya dia yg berpangkat kiayi dan santri, tetapi pedagang, para bos, para pejabat, di waktu-waktu tertentu kerap kita akan menyaksikan mereka mengenakan pakaian sarung ini. Bahkan rapat-rapat nonformal pejabat tinggi di Banten, kerap menggunakan kain sarung.
Maka tak heran di Banten mobil-mobil mewah itu kerika terparkir penumpang yg turun dari mobil mewah itu orang-orang bersarung dan berpeci.
Bisa dikatakan kelompok masyarakat ini merupakan kelompok terhormat dari struktur sosial modern masyarakat Banten. Para jawara dimana Banten dijuluki sebagai "tanah jawara", juga sangat menghormati kelompok bersarung ini dan nampaknya nyaris tidak pernah ada bentrokan atau gesekan para jawara dgn kelompok ini.
Tentu hal ini tidak bersifat general tetapi hanya bersifat dominatif saja. Terimakasih. (Imaduddin Utsman)
Komentar
Posting Komentar