WAHABI VERSUS SYI'AH
Antara Dendam dan Cinta
Oleh: Imaduddin al-Bantanie
Kenapa kaum Wahabi begitu membenci kaum Syi'ah dan sebaliknya? Mereka saling membenci. Bukan karena agama. Tapi karena dendam dan cinta. Kalaupun ada dalil-dalil agama yang digunakan, hakikat sebenarnya adalah dendam dan cinta.
Sebagai seorang sunni, saya akan memandang persoalan wahabi versus syiah ini dari cara pandang Ahlussunnah asy'ariyyah, di mana sunni asy'ari menganggap bahwa kaum syiah dan wahabi adalah saudara seiman yang merupakan potensi umat yang penting untuk melawan kaum kuffar. Sehingga cara pandang ini adalah cara pandang yang bisa menemukan 'kalimah sawa' untuk mempersatukan keduanya.
Dalam cara berfikir kaum Syiah, apa yang terjadi pasca meninggalnya Nabi Muhammad saw dijadikan momentum oleh mereka yang merasa terhina secara gengsi kearaban untuk balas dendam terhadap bani hasyim dan bani muttollib.
Kabilah-kabilah atau bani-bani di Makkah adalah turunan Quraisyi yang sangat dimulyakan oleh seluruh Arab. Satu bani di antara lainnya saling bersaing untuk mendapatkan keagungan Quraisyi. Munculnya sosok Nabi Muhammad sebagai nabi tentu sangat membanggakan kaum Quraisyi. Bani Hasyim dan bani muttollib adalah yang lebih berbangga. Walaupun tidak semua dari bani hasyim dan bani muttollib beriman kepada Nabi.
Hal ini tentunya membuat di hati para bani quraisy yang lain ada sesuatu. Bagi kaum syiah, keputusan bersama pengangkatan Abu Bakkar ra sebagai kholifah adalah bagian dari sesuatu itu. Bagi kaum Syiah, Ali bin abitolib ra diwasiati oleh Nabi Muhammad saw untuk menjadi pengganti sesudah beliau, maka pengangkatan sepihak Abu Bakar ra tanpa melibatkan Bani Hasyim dan Bani Muttollib adalah sebuah penghianatan.
Dalam pandangan sunni, pengangkatan Abu Bakar ra sebagai kholifah adalah tidak bermaksud meninggalkan bani hasyim dan bani muttollib, tapi lebih kepada bahwa keluarga Nabi sedang berduka maka tak elok melibatkan keluaga nabi dalam masalah ini, terlebih dalam pandangan sahabat utama, masalah khilafah bukan masalah jadi raja dengan setiap kesenangannya tapi ia adalah perjuangan yang berat yang beresiko jadi bukan sesuatu yang boleh jatuh kepada sembarang orang dan tidak pantas diperebutkan kecuali untuk orang yang mengetahui dan meyakini dirinya dapat mengemban amanah berat itu.
Dalam cara pandang yang serupa, syiah menempatkan Siti Fatimah ra sebagai fihak yang terdzalimi ketika tanah waris Fatimah diambil dengan ijtihad sahabat bahwa sesuai ucapan Nabi bahwa para nabi tidak meninggalkan dinar dan dirham.
Setelah Utsman ra menjadi khalifah menggantikan Umar ra, terjadi beberapa kejadian antar kaum muslimin yang menyebabkan Utsman ra terbunuh. Giliran kaum Nawashib yang menduga ada peran pendukung Ali ra dan Abubakar ra yang terlibat.
Ali ra pun atas kesepakatan kaum muslimin diangkat menjadi khalifah menggantikan Utsman ra. Kaum nawashib pendukung Utsman ra menuntut Ali ra untuk segera bertindak mengadili para pembunuh Utsman ra.
Karena beberapa hal Ali ra belum bisa memenuhi tuntutan pendukung Utsman ra. Akhirnya tuntutan untuk mengadili pembunuh Utsman ra bergeser menjadi tuntutan pengundurdirian Ali ra digantikan oleh Muawiyah ra. Hingga peperanganpun tidak dapat dihindari.
Perang siffin terjadi. Mengakibatkan kaum muslimin terpecah menjadi beberapa firqoh. Syiah yang setia kepada Ali ra; Kawarij yang kecewa kepada Ali ra yang bersedia menerima arbitrase dengan fihak Muawiyah ra; Kaum Nawashib pendukung Muawiyah ra dan mayoritas sahabat dan kaum muslimin yang non blok.
Perselisihan terus terjadi. Sampai kepada terbunuhnya Ali ra. Kemudian kaum muslimin dari golongan syiah dan sebagian sahabat Nabi mengangkat Hasan bin Ali ra sebagai khalifah. Kaum nawashib mengangkat Muawiyah ra. Kemudian Hasan ra wafat diracun. Kaum Syiah menuding kaum nawashib dibalik diracuninya Hasan ra.
Setelah Hasan ra wafat, pendukung Hasan ra mengangkat Husen bin ali ra sebagai khalifah. Dualisme kepemimpinan kaum muslimin terus berlangsung sampai terbunuhnya Husen ra di karbala.
Peristiwa karbala inilah yang paling fatal memecah belah kaum muslimin sampai hari ini. Tragedi pembantaian Husen ra dan puluhan pengikutnya dari kaum wanita dan anak-anak telah melahirkan dendam yang dalam dari para pecinta keluarga nabi.
Bagi kaum syiah yang dilakukan kaum nawashib pendukung Muawiyah ra dan Yazid bin Muawiyah sudah keluar dari batas islam. Mereka menganggap tidak mungkin Muawiyah ra dan Yazid serta pasukannya begitu tega terhadap keluarga Nabi kalau mereka punya iman. Kaum syiah menuding kelompok nawashib pendukung Muawiyah ra sebagai orang munafik yang menyembunyikan keimanan sejak nabi masih hidup.
Sementara kaum Nawashib menganggap baik Hasan ra maupun Husen ra sebagai pemberontak dari pemerintah yang sah dan halal diperangi.
Dendam kaum syiah terhadap kaum nawashib terus berlangsung sampai hari ini. Cerita-cerita pilu menyayat hati pembantaian Husen ra, Siti Fatimah yang didzolimi selalu ditampilkan dalam setiap haflah syiah.
Bahkan sebagian syiah sampai menganggap sahabat mulia seperti Abu Bakar ra, Umar ra, Utsman ra dan ummul mukminin Siti Aisyah ra dan Siti Hafsoh ra sebagai calon penghuni neraka.
Begitupula kaum nawashib, untuk membela para sahabat mulia dan ummul mukminin menganggap syiah telah murtad dan keluar daripada agama islam.
Lalu bagaimanakah pendapat ahlussunnah waljamaah?
Ahlussunnah menganggap kaum syiah sebagai muslim. Begitupula kaum nawashib yang sekarang direfresentasikan kaum wahabi. Keduanya adalah firqoh islam. Perbedaan pendapat di antarara keduanya hanya mengeluarkan mereka dari golongan ahlussunnah tapi tidak mengeluarkan mereka dari islam. Adapun kutipan-kutipan dari kaum wahabi yang sering kita dapati via medsos tentang pendapat syiah yang sepertinya mereka bukan islam, itu adalah riak pertarungan kedua firqoh untuk mempengaruhi fihak luar untuk ikut bersama wahabi untuk memusuhi syiah.
Hal yang serupa juga dilakukan syiah kepada wahabi.
Bagi ahlussunnah waljamaah, wajib hukumnya kita mencintai Nabi dan keluarganya, isteri-isterinya, anak-menantunya dan keturunannya. Dan bagi Ahlissunnah seluruh sahabat adalah adil. Mereka adalah manusia yang diridhoi Allah swt. Siapa orang yang berani mencelanya maka ia telah melakukan dosa besar.
Ahlussunnah mengharapkan Syiah untuk kembali kepada ajaran islam yang lurus, begitupula kepada wahabi. Siapakah ajaran yang benar? Ia adalah ajaran yang Nabi dan sahabatnya berjalan di atasnya. Siapakah dia? Ahlussunnah waljamaah bukan syiah bukan pula wahabi.
Wallahu a'lam.
Antara Dendam dan Cinta
Oleh: Imaduddin al-Bantanie
Kenapa kaum Wahabi begitu membenci kaum Syi'ah dan sebaliknya? Mereka saling membenci. Bukan karena agama. Tapi karena dendam dan cinta. Kalaupun ada dalil-dalil agama yang digunakan, hakikat sebenarnya adalah dendam dan cinta.
Sebagai seorang sunni, saya akan memandang persoalan wahabi versus syiah ini dari cara pandang Ahlussunnah asy'ariyyah, di mana sunni asy'ari menganggap bahwa kaum syiah dan wahabi adalah saudara seiman yang merupakan potensi umat yang penting untuk melawan kaum kuffar. Sehingga cara pandang ini adalah cara pandang yang bisa menemukan 'kalimah sawa' untuk mempersatukan keduanya.
Dalam cara berfikir kaum Syiah, apa yang terjadi pasca meninggalnya Nabi Muhammad saw dijadikan momentum oleh mereka yang merasa terhina secara gengsi kearaban untuk balas dendam terhadap bani hasyim dan bani muttollib.
Kabilah-kabilah atau bani-bani di Makkah adalah turunan Quraisyi yang sangat dimulyakan oleh seluruh Arab. Satu bani di antara lainnya saling bersaing untuk mendapatkan keagungan Quraisyi. Munculnya sosok Nabi Muhammad sebagai nabi tentu sangat membanggakan kaum Quraisyi. Bani Hasyim dan bani muttollib adalah yang lebih berbangga. Walaupun tidak semua dari bani hasyim dan bani muttollib beriman kepada Nabi.
Hal ini tentunya membuat di hati para bani quraisy yang lain ada sesuatu. Bagi kaum syiah, keputusan bersama pengangkatan Abu Bakkar ra sebagai kholifah adalah bagian dari sesuatu itu. Bagi kaum Syiah, Ali bin abitolib ra diwasiati oleh Nabi Muhammad saw untuk menjadi pengganti sesudah beliau, maka pengangkatan sepihak Abu Bakar ra tanpa melibatkan Bani Hasyim dan Bani Muttollib adalah sebuah penghianatan.
Dalam pandangan sunni, pengangkatan Abu Bakar ra sebagai kholifah adalah tidak bermaksud meninggalkan bani hasyim dan bani muttollib, tapi lebih kepada bahwa keluarga Nabi sedang berduka maka tak elok melibatkan keluaga nabi dalam masalah ini, terlebih dalam pandangan sahabat utama, masalah khilafah bukan masalah jadi raja dengan setiap kesenangannya tapi ia adalah perjuangan yang berat yang beresiko jadi bukan sesuatu yang boleh jatuh kepada sembarang orang dan tidak pantas diperebutkan kecuali untuk orang yang mengetahui dan meyakini dirinya dapat mengemban amanah berat itu.
Dalam cara pandang yang serupa, syiah menempatkan Siti Fatimah ra sebagai fihak yang terdzalimi ketika tanah waris Fatimah diambil dengan ijtihad sahabat bahwa sesuai ucapan Nabi bahwa para nabi tidak meninggalkan dinar dan dirham.
Setelah Utsman ra menjadi khalifah menggantikan Umar ra, terjadi beberapa kejadian antar kaum muslimin yang menyebabkan Utsman ra terbunuh. Giliran kaum Nawashib yang menduga ada peran pendukung Ali ra dan Abubakar ra yang terlibat.
Ali ra pun atas kesepakatan kaum muslimin diangkat menjadi khalifah menggantikan Utsman ra. Kaum nawashib pendukung Utsman ra menuntut Ali ra untuk segera bertindak mengadili para pembunuh Utsman ra.
Karena beberapa hal Ali ra belum bisa memenuhi tuntutan pendukung Utsman ra. Akhirnya tuntutan untuk mengadili pembunuh Utsman ra bergeser menjadi tuntutan pengundurdirian Ali ra digantikan oleh Muawiyah ra. Hingga peperanganpun tidak dapat dihindari.
Perang siffin terjadi. Mengakibatkan kaum muslimin terpecah menjadi beberapa firqoh. Syiah yang setia kepada Ali ra; Kawarij yang kecewa kepada Ali ra yang bersedia menerima arbitrase dengan fihak Muawiyah ra; Kaum Nawashib pendukung Muawiyah ra dan mayoritas sahabat dan kaum muslimin yang non blok.
Perselisihan terus terjadi. Sampai kepada terbunuhnya Ali ra. Kemudian kaum muslimin dari golongan syiah dan sebagian sahabat Nabi mengangkat Hasan bin Ali ra sebagai khalifah. Kaum nawashib mengangkat Muawiyah ra. Kemudian Hasan ra wafat diracun. Kaum Syiah menuding kaum nawashib dibalik diracuninya Hasan ra.
Setelah Hasan ra wafat, pendukung Hasan ra mengangkat Husen bin ali ra sebagai khalifah. Dualisme kepemimpinan kaum muslimin terus berlangsung sampai terbunuhnya Husen ra di karbala.
Peristiwa karbala inilah yang paling fatal memecah belah kaum muslimin sampai hari ini. Tragedi pembantaian Husen ra dan puluhan pengikutnya dari kaum wanita dan anak-anak telah melahirkan dendam yang dalam dari para pecinta keluarga nabi.
Bagi kaum syiah yang dilakukan kaum nawashib pendukung Muawiyah ra dan Yazid bin Muawiyah sudah keluar dari batas islam. Mereka menganggap tidak mungkin Muawiyah ra dan Yazid serta pasukannya begitu tega terhadap keluarga Nabi kalau mereka punya iman. Kaum syiah menuding kelompok nawashib pendukung Muawiyah ra sebagai orang munafik yang menyembunyikan keimanan sejak nabi masih hidup.
Sementara kaum Nawashib menganggap baik Hasan ra maupun Husen ra sebagai pemberontak dari pemerintah yang sah dan halal diperangi.
Dendam kaum syiah terhadap kaum nawashib terus berlangsung sampai hari ini. Cerita-cerita pilu menyayat hati pembantaian Husen ra, Siti Fatimah yang didzolimi selalu ditampilkan dalam setiap haflah syiah.
Bahkan sebagian syiah sampai menganggap sahabat mulia seperti Abu Bakar ra, Umar ra, Utsman ra dan ummul mukminin Siti Aisyah ra dan Siti Hafsoh ra sebagai calon penghuni neraka.
Begitupula kaum nawashib, untuk membela para sahabat mulia dan ummul mukminin menganggap syiah telah murtad dan keluar daripada agama islam.
Lalu bagaimanakah pendapat ahlussunnah waljamaah?
Ahlussunnah menganggap kaum syiah sebagai muslim. Begitupula kaum nawashib yang sekarang direfresentasikan kaum wahabi. Keduanya adalah firqoh islam. Perbedaan pendapat di antarara keduanya hanya mengeluarkan mereka dari golongan ahlussunnah tapi tidak mengeluarkan mereka dari islam. Adapun kutipan-kutipan dari kaum wahabi yang sering kita dapati via medsos tentang pendapat syiah yang sepertinya mereka bukan islam, itu adalah riak pertarungan kedua firqoh untuk mempengaruhi fihak luar untuk ikut bersama wahabi untuk memusuhi syiah.
Hal yang serupa juga dilakukan syiah kepada wahabi.
Bagi ahlussunnah waljamaah, wajib hukumnya kita mencintai Nabi dan keluarganya, isteri-isterinya, anak-menantunya dan keturunannya. Dan bagi Ahlissunnah seluruh sahabat adalah adil. Mereka adalah manusia yang diridhoi Allah swt. Siapa orang yang berani mencelanya maka ia telah melakukan dosa besar.
Ahlussunnah mengharapkan Syiah untuk kembali kepada ajaran islam yang lurus, begitupula kepada wahabi. Siapakah ajaran yang benar? Ia adalah ajaran yang Nabi dan sahabatnya berjalan di atasnya. Siapakah dia? Ahlussunnah waljamaah bukan syiah bukan pula wahabi.
Wallahu a'lam.
Komentar
Posting Komentar