FIKRAH NAHDLIYYAH

Oleh : Kang Imad (Imaduddin al-Bantanie)

Nahdlatul Ulama (NU) awalnya hanya sebuah jamiyyah atau wadah bagi para ulama pesantren yang setia menerapkan manhaj turats-tradisional. Yang disebut orang NU juga awalnya adalah mereka yang menyatakan diri masuk ke dalam jamiyyah tersebut.

Kemudian NU berkembang menjadi sebuah fikrah. Orang NU bukan lagi hanya ulama dan santri tetapi juga merupakan rumah besar bagi siapa saja yang memahami agama sebagai NU memahaminya.

Sebagai basis fikrah, NU tidak terlepas dari konteks kesejarahan dari lingkungan di mana NU lahir. Para wali yang menyebarkan islam dengan pendekatan sufistik adalah mustanbath primer di mana fikrah nahdliyyah itu terbentuk.

Maka kemudian kemurnian fikrah nahdliyyah adalah berbasis kepada ke-muttasil-an fikrah itu kepada para wali tersebut. Dalam hal ini silsilah sanad keguruan fikrah nahdliyyah itu kemudian menjadi amat penting.

Sangat dapat dipastikan kemudian seseorang yang sama sekali tidak pernah masuk secara resmi ke dalam jamiyyah NU memiliki fikrah yang mi'ah bil mi'ah sama dengan NU karena ke-muttasil-an sanad ilmunya yang sampai kepada para wali.

Sebaliknya, mereka yang secara resmi mempunyai kartanu disebabkan oleh ke-munqoti-an sanadnya kepada para wali bisa menjadi tidak memiliki fikrah nahdliyyah.

Abuya Dimyathi Cidahu mungkin tidak pernah tercatat di MWC NU Cadasari atau di PC Pandeglang. Tetapi beliau diakui sebagai kiayi kharismatik NU, kenapa? Karena beliau memiliki fikrah nahdliyyah.

Tokoh seperti Ulil Abshar Abdallah, Nusron Wahid bahkan Guntur Romli dengan berbagai kontroversi mereka tentang faham keagamaan tetap diakui sebagai tokoh muda NU, kenapa? Karena mereka santri dari para kiayi yang memiliki fikrah nahdliyyah yang diyakini fikrah itu tidak mudah luntur.

Di NU itu unik. Ia bisa menjadi NU hanya karena ia mesntren di kiayi NU. Atau ia menjadi murid atu muqollid dari kiayi yang mempunyai fikrah nahdliyyah.

Survey faham keagamaan terbaru warga NU mencapai 90 juta jiwa. Uniknya kurang dari sepuluh persen saja yang memiliki kartanu (Kartu Tanda Anggota NU).

Potensi besar NU ini yang harus menjadi perhatian NU struktural agar kebesaran NU itu bisa diejawantahkan dalam kekuatan jam'iyyah yang ril untuk kemaslshatan agama dan bangsa. Wallahu a'lam.

Komentar